Ada sebuah buku berjudul asli Al-Iman wa Nawaqidhuhu & At-Tibyan
Syarhu Nawaqidhil Iman. Buku ini ditulis oleh duet Dr Safar Hawali &
Syaikh Sulaiman Nashir Ulwan. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Etoz
Publishing. Yang menariknya, penerbit menerjemahkan judul buku tersebut
dengan atraktif sekaligus menghentak sanubari. Judul bahasa Indonesianya
ialah Murtad Tanpa Sadar Kok Bisa?Benar saudaraku. Ternyata
di dalam hidup ini ada perkara-perkara yang jika dilakukan, bahkan
sekedar diucapkan, dapat menjerumuskan seorang muslim ke dalam sebuah
keadaan murtad tanpa sadar. Artinya, ia tidak sekedar terlibat dalam
sembarang dosa. Tapi ia terlibat ke dalam urusan yang dapat menyebabkan
batalnya keimanan serta keislamannya. Hal ini menjadi lebih serius jika
kita kaitkan dengan kondisi zaman modern yang sangat sarat dengan fitnah
(ujian) terhadap iman seorang muslim. Sehingga kita jadi teringat
sebuah hadits di mana Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam
bersabda:
بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Bersegeralah beramal
sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap
gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah
kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir, ia menjual
agamanya dengan kesenangan dunia." (HR. Ahmad, No. 8493)
Sungguh penulis khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini persis
sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam gambarkan di dalam hadits di
atas. Laksana malam yang gelap gulita. Fitnah (ujian) telah meliputi
segenap aspek kehidupan modern. Dan derajat fitnah tersebut sedemikian
rupa sehingga potensial menyebabkan seorang muslim sulit memelihara
ke-istiqomahannya. Pagi masih dinilai Allah Subhanahu Wa Ta'ala beriman,
namun sore harinya telah menjadi kafir. Bayangkan…! Nabi shalallahu
alaihi wasallam di dalam hadits di atas tidak menggambarkan kondisi
gelap gulita tersebut berakibat sekedar “di waktu pagi berbuat kebaikan
dan di waktu sore berbuat kejahatan”. Sebab jika demikian
penggambarannya, masih lebih ringan. Sebab betapapun seseorang melakukan
kejahatan, ia masih mungkin dipandang tetap memiliki iman. Sedangkan
Nabi shalallahu alaihi wasallam jelas-jelas menggambarkan bahwa
kegelapan akibat rangkaian fitnah tersebut berakibat “seorang laki-laki
di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore
beriman dan paginya menjadi kafir”. Wa na’udzu billahi min dzaalika…!
Mari kita lihat contohnya. Sebut saja Pembatal Keislaman nomor empat
dan nomor sembilan. Pembatal Keislaman nomor empat di dalam buku MTS
(Murtad Tanpa Sadar) ialah “Meyakini Bahwa Selain Petunjuk Nabi Muhammad
shalallahu alaihi wasallam Lebih Sempurna Daripada Petunjuknya”.
Sedangkan Pembatal Keislaman nomor sembilan ialah “Meyakini Bahwa
Manusia Boleh Keluar Dan Tidak Mengikuti Syariat Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dan RasulNya shalallahu alaihi wasallam ”.
Sungguh,
tidak sedikit muslim di era modern ini yang terjatuh kepada dua perkara
di atas. Mereka masih menaruh harapan kepada petunjuk, panduan, isme,
ideologi, bimbingan hidup, sistem hidup atau falsafah hidup selain yang
bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan RasulNya shalallahu alaihi
wasallam . Lalu mereka memperlakukan berbagai petunjuk tersebut seolah
setara bahkan lebih baik dan lebih sempurna daripada ajaran Al-Islam.
Mereka meragukan Al-Islam sebagai pemersatu keanekaragaman ummat manusia
lalu meyakini ada selain Al-Islam yang dapat memainkan peranan
pemersatu tersebut. Seolah mereka mengabaikan kesempurnaan ajaran atau
syariat Allah Subhanahu Wa Ta'ala Lalu menaruh kepercayaan akan
kesempurnaan ajaran atau isme lainnya. Padahal di dalam Al-Qur’an dia
membaca ayat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu.” (QS. Al-Maidah [5] : 3)
Salah satu faham modern yang
dewasa ini secara gencar dikampanyekan oleh masyarakat Barat (baca: kaum
Yahudi dan Nasrani) ialah Pluralisme. Sebagian besar penghuni planet
bumi dewasa ini telah terpengaruh dan percaya kepada faham tersebut.
Mereka memandangnya sebagai sebuah faham yang baik dan positif. Bahkan
faham ini telah dipandang sebagai indikator kemajuan atau kemodernan
seseorang atau bahkan suatu bangsa. Memang, pada tahap awal, Pluralisme
mengajarkan suatu hal yang baik yaitu keharusan setiap orang agar
menghormati orang lain apapun latar belakang agama dan keyakinannya.
Sampai di sini kita tidak punya masalah dengan ajaran ini. Bahkan
Islam-pun menganjurkan kita untuk berlaku demikian. Tetapi persoalannya,
Pluralisme tidak menerima jika seseorang hanya sebatas memiliki sikap
seperti itu. Ia menuntut setiap orang agar mengembangkan “sikap modern”
sedemikian rupa sehingga tanpa ragu dan bimbang rela berkata: “Semua
agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar.” Nah, jika seorang
muslim sampai rela mengeluarkan kata-kata seperti itu, barulah ia
benar-benar diakui sebagai seorang penganut Pluralisme. Barulah ia akan
diberi label “muslim modern” dan “muslim moderat” oleh masyarakat dunia,
khususnya masyarakat barat.
Apa masalahnya bila seorang muslim
berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”?
Saudaraku, ungkapan seperti itu menunjukkan bahwa yang mengucapkannya
tidak setuju dengan beberapa ayat di dalam Kitabullah Al-Qur’anul Karim.
Padahal ketidaksetujuan seseorang akan isi Al-Qur’an menunjukkan bahwa
dirinya meragukan kebenaran fihak yang telah mewahyukannya, yaitu Allah
Subhanahu Wa Ta'ala Padahal tidak ada satupun firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala yang mengandung kebatilan. Subhaanallah…! Seluruh isi Al-Qur’an
sepatutunya diterima oleh setiap orang yang mengaku muslim sebagai
kebenaran mutlak, karena ia merupakan Kalamullah (ucapan-ucapan Allah
Subhanahu Wa Ta'ala). Sehingga setiap malam saat sholat tahajjud Nabi
Muhammad shalallahu alaihi wasallam selalu membaca doa yang sebagian
isinya berbunyi:
أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ
“…(Ya Allah) Engkaulah Al Haq (Yang Maha Benar), dan janji-Mu haq
(benar adanya), dan perjumpaan dengan-Mu adalah benar dan firman-Mu
benar…” (HR. Bukhari, No 1053)
Maka seorang muslim yang
termakan oleh faham Pluralisme sehingga melontarkan kalimat-kalimat
batil seperti di atas sungguh potensial terjangkiti virus MTS. Sebab ia
sekurang-kurangnya telah menolak tiga ayat Al-Qur’an. Ia telah memandang
dirinya lebih cerdas daripada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Tahu
dan Maha Benar pengetahuannya. Ketiga ayat tersebut ialah:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya diin (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari diin selain diin Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama/diin itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan,
kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS.
Al-Hijr [15] : 2)
Bagaimana mungkin seorang muslim yang pernah
membaca ketiga ayat di atas, sambil mengaku beriman akan Al-Qur’an
sebagai kumpulan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Tahu dan
Maha Benar pengetahuannya, lalu akan dengan ringannya tega melontarkan
kata-kata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”?
Coba perhatikan cuplikan diskusi yang sering terjadi di sekitar kita.
Ada beberapa orang sedang mendiskusikan soal perselisihan antar dua
kelompok berbeda agama yang terjadi di tengah masyarakat. Yang satu
kelompok kaum muslimin, sedangkan yang satu lagi kelompok kaum kafir.
Lalu masing-masing fihak mempertahankan argumennya masing-masing.
Akhirnya suasana diskusi menjadi panas dan hampir tidak terkendali.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka melontarkan sebuah upaya
menenteramkan situasi dengan melontarkan kata-kata: “Sudahlah
teman-teman, marilah kita ingat selalu bahwa kita ini kan satu bangsa.
Agama boleh berbeda. Tapi kita kan tetap satu bangsa. Toh, setiap agama
kan maksudnya baik. Tujuannya mulia. Dan semuanya kan menuju tujuan yang
sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa sih kita tidak bisa saling
memahami dan bersikap toleran?”
Bukankah contoh kasus di atas
merupakan suasana yang sangat sering kita temui di dalam kehidupan
sehari-hari kita? Dan diskusi hangat dengan akhir seperti itu kian hari
kian mudah kita temui belakangan ini. Kasus dan pelaku perselisihan
boleh berbeda, tapi ujung akhir penyelesaiannya kurang lebih sama. Yaitu
mengakui bahwa setiap agama punya maksud yang sama dan baik. Benarkah
demikian? Kalaulah semua agama punya maksud dan tujuan yang sama dan
baik, lalu mengapa kita harus memilih Al-Islam? Mengapa kita tidak pilih
yang lainnya saja? Bukankah Islam secara praktek lebih rumit dan
menuntut pengorbanan dibandingkan yang lainnya? Islam mewajibkan setiap
muslim sholat beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sekurangnya
lima kali sehari-semalam. Islam mewajibkan setiap satu tahun sekali
selama sebulan penuh muslim menahan rasa lapar, dahaga dan berhubungan
suami-istri di siang hari. Mengapa tidak kita pilih agama lainnya yang
lebih sederhana dan ringan? Artinya, pandangan yang mengatakan bahwa
semua agama bermaksud “sama dan baik” mengingkari statement Allah
Subhanahu Wa Ta'ala yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya diin (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari diin selain diin Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)
Realitasnya
dewasa ini sangat mudah kita jumpai di sekeliling kita kaum muslimin
yang melontarkan kata-kata batil seperti di atas. Astaghfirullahal
‘azhiem. Allahummagh fir lil muslimin wal muslimat. Ya Allah, ampunilah
dosa-dosa kaum Muslimin dan Muslimat. Laa haula wa laa quwwata illa
billah…!
Ya Allah, lindungilah kami dari virus penyakit murtad
tanpa sadar di era modern penuh fitnah ini. Amiin. Amiin ya Rabbal
‘aalamiin.
اللهم إني أعوذبك مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari cobaan yang memayahkan,
kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk dan cacian musuh.”
(HR. Bukhari, No. 5871)
بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia." (HR. Ahmad, No. 8493)
Sungguh penulis khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini persis sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam gambarkan di dalam hadits di atas. Laksana malam yang gelap gulita. Fitnah (ujian) telah meliputi segenap aspek kehidupan modern. Dan derajat fitnah tersebut sedemikian rupa sehingga potensial menyebabkan seorang muslim sulit memelihara ke-istiqomahannya. Pagi masih dinilai Allah Subhanahu Wa Ta'ala beriman, namun sore harinya telah menjadi kafir. Bayangkan…! Nabi shalallahu alaihi wasallam di dalam hadits di atas tidak menggambarkan kondisi gelap gulita tersebut berakibat sekedar “di waktu pagi berbuat kebaikan dan di waktu sore berbuat kejahatan”. Sebab jika demikian penggambarannya, masih lebih ringan. Sebab betapapun seseorang melakukan kejahatan, ia masih mungkin dipandang tetap memiliki iman. Sedangkan Nabi shalallahu alaihi wasallam jelas-jelas menggambarkan bahwa kegelapan akibat rangkaian fitnah tersebut berakibat “seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir”. Wa na’udzu billahi min dzaalika…!
Mari kita lihat contohnya. Sebut saja Pembatal Keislaman nomor empat dan nomor sembilan. Pembatal Keislaman nomor empat di dalam buku MTS (Murtad Tanpa Sadar) ialah “Meyakini Bahwa Selain Petunjuk Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam Lebih Sempurna Daripada Petunjuknya”. Sedangkan Pembatal Keislaman nomor sembilan ialah “Meyakini Bahwa Manusia Boleh Keluar Dan Tidak Mengikuti Syariat Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan RasulNya shalallahu alaihi wasallam ”.
Sungguh, tidak sedikit muslim di era modern ini yang terjatuh kepada dua perkara di atas. Mereka masih menaruh harapan kepada petunjuk, panduan, isme, ideologi, bimbingan hidup, sistem hidup atau falsafah hidup selain yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan RasulNya shalallahu alaihi wasallam . Lalu mereka memperlakukan berbagai petunjuk tersebut seolah setara bahkan lebih baik dan lebih sempurna daripada ajaran Al-Islam. Mereka meragukan Al-Islam sebagai pemersatu keanekaragaman ummat manusia lalu meyakini ada selain Al-Islam yang dapat memainkan peranan pemersatu tersebut. Seolah mereka mengabaikan kesempurnaan ajaran atau syariat Allah Subhanahu Wa Ta'ala Lalu menaruh kepercayaan akan kesempurnaan ajaran atau isme lainnya. Padahal di dalam Al-Qur’an dia membaca ayat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5] : 3)
Salah satu faham modern yang dewasa ini secara gencar dikampanyekan oleh masyarakat Barat (baca: kaum Yahudi dan Nasrani) ialah Pluralisme. Sebagian besar penghuni planet bumi dewasa ini telah terpengaruh dan percaya kepada faham tersebut. Mereka memandangnya sebagai sebuah faham yang baik dan positif. Bahkan faham ini telah dipandang sebagai indikator kemajuan atau kemodernan seseorang atau bahkan suatu bangsa. Memang, pada tahap awal, Pluralisme mengajarkan suatu hal yang baik yaitu keharusan setiap orang agar menghormati orang lain apapun latar belakang agama dan keyakinannya. Sampai di sini kita tidak punya masalah dengan ajaran ini. Bahkan Islam-pun menganjurkan kita untuk berlaku demikian. Tetapi persoalannya, Pluralisme tidak menerima jika seseorang hanya sebatas memiliki sikap seperti itu. Ia menuntut setiap orang agar mengembangkan “sikap modern” sedemikian rupa sehingga tanpa ragu dan bimbang rela berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar.” Nah, jika seorang muslim sampai rela mengeluarkan kata-kata seperti itu, barulah ia benar-benar diakui sebagai seorang penganut Pluralisme. Barulah ia akan diberi label “muslim modern” dan “muslim moderat” oleh masyarakat dunia, khususnya masyarakat barat.
Apa masalahnya bila seorang muslim berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”? Saudaraku, ungkapan seperti itu menunjukkan bahwa yang mengucapkannya tidak setuju dengan beberapa ayat di dalam Kitabullah Al-Qur’anul Karim. Padahal ketidaksetujuan seseorang akan isi Al-Qur’an menunjukkan bahwa dirinya meragukan kebenaran fihak yang telah mewahyukannya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala Padahal tidak ada satupun firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang mengandung kebatilan. Subhaanallah…! Seluruh isi Al-Qur’an sepatutunya diterima oleh setiap orang yang mengaku muslim sebagai kebenaran mutlak, karena ia merupakan Kalamullah (ucapan-ucapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala). Sehingga setiap malam saat sholat tahajjud Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam selalu membaca doa yang sebagian isinya berbunyi:
أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ
“…(Ya Allah) Engkaulah Al Haq (Yang Maha Benar), dan janji-Mu haq (benar adanya), dan perjumpaan dengan-Mu adalah benar dan firman-Mu benar…” (HR. Bukhari, No 1053)
Maka seorang muslim yang termakan oleh faham Pluralisme sehingga melontarkan kalimat-kalimat batil seperti di atas sungguh potensial terjangkiti virus MTS. Sebab ia sekurang-kurangnya telah menolak tiga ayat Al-Qur’an. Ia telah memandang dirinya lebih cerdas daripada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Tahu dan Maha Benar pengetahuannya. Ketiga ayat tersebut ialah:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya diin (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari diin selain diin Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama/diin itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS. Al-Hijr [15] : 2)
Bagaimana mungkin seorang muslim yang pernah membaca ketiga ayat di atas, sambil mengaku beriman akan Al-Qur’an sebagai kumpulan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Tahu dan Maha Benar pengetahuannya, lalu akan dengan ringannya tega melontarkan kata-kata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”?
Coba perhatikan cuplikan diskusi yang sering terjadi di sekitar kita. Ada beberapa orang sedang mendiskusikan soal perselisihan antar dua kelompok berbeda agama yang terjadi di tengah masyarakat. Yang satu kelompok kaum muslimin, sedangkan yang satu lagi kelompok kaum kafir. Lalu masing-masing fihak mempertahankan argumennya masing-masing. Akhirnya suasana diskusi menjadi panas dan hampir tidak terkendali. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka melontarkan sebuah upaya menenteramkan situasi dengan melontarkan kata-kata: “Sudahlah teman-teman, marilah kita ingat selalu bahwa kita ini kan satu bangsa. Agama boleh berbeda. Tapi kita kan tetap satu bangsa. Toh, setiap agama kan maksudnya baik. Tujuannya mulia. Dan semuanya kan menuju tujuan yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa sih kita tidak bisa saling memahami dan bersikap toleran?”
Bukankah contoh kasus di atas merupakan suasana yang sangat sering kita temui di dalam kehidupan sehari-hari kita? Dan diskusi hangat dengan akhir seperti itu kian hari kian mudah kita temui belakangan ini. Kasus dan pelaku perselisihan boleh berbeda, tapi ujung akhir penyelesaiannya kurang lebih sama. Yaitu mengakui bahwa setiap agama punya maksud yang sama dan baik. Benarkah demikian? Kalaulah semua agama punya maksud dan tujuan yang sama dan baik, lalu mengapa kita harus memilih Al-Islam? Mengapa kita tidak pilih yang lainnya saja? Bukankah Islam secara praktek lebih rumit dan menuntut pengorbanan dibandingkan yang lainnya? Islam mewajibkan setiap muslim sholat beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sekurangnya lima kali sehari-semalam. Islam mewajibkan setiap satu tahun sekali selama sebulan penuh muslim menahan rasa lapar, dahaga dan berhubungan suami-istri di siang hari. Mengapa tidak kita pilih agama lainnya yang lebih sederhana dan ringan? Artinya, pandangan yang mengatakan bahwa semua agama bermaksud “sama dan baik” mengingkari statement Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya diin (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari diin selain diin Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)
Realitasnya dewasa ini sangat mudah kita jumpai di sekeliling kita kaum muslimin yang melontarkan kata-kata batil seperti di atas. Astaghfirullahal ‘azhiem. Allahummagh fir lil muslimin wal muslimat. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kaum Muslimin dan Muslimat. Laa haula wa laa quwwata illa billah…!
Ya Allah, lindungilah kami dari virus penyakit murtad tanpa sadar di era modern penuh fitnah ini. Amiin. Amiin ya Rabbal ‘aalamiin.
اللهم إني أعوذبك مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari cobaan yang memayahkan, kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk dan cacian musuh.” (HR. Bukhari, No. 5871)